Bulan Ramadhan sudah datang lagi. Masjid-masjid malam ini akan mulai ramai shalat taraweh. Dini hari kenthongan-kenthongan di tabuh membangunkan orang-orang sahur. Shubuh-shubuh anak-anak berduyun-duyun ke Masjid untuk shalat kemudian minta tanda tangan ustadz sebagai bukti bahwa sudah ikut ngaji setelah shubuh. Padahal ya wong anak-anak, ditanya pengajian isinya apa ya mereka cuma menjawab "mbuh". Selepas Ashar ngumpul lagi di Masjid sambil ngaji sambil nunggu Jaburan, jajanan yang dibagikan saat buka puasa.
Suasana itu menjadi suasana yang sangat menggembirakan dan ngangeni. Merindui bulan Ramadhan bagi orang yang tidak shaleh-shaleh amat seperti saya ini ya rindu dengan suasana-suasana itu. Lha nek dengan puasanya ya sebenernya berat. Nek boleh milih ya mending gak puasa. Tapi yang prentah kan Gusti Allah, ya seberat apapun harus diusahakan sekuat-kuatnya. Kita itu diparingi urip dan diberi macem-macem sama Allah mosok di prentah gitu aja nolak.
Bulan Ramadhan itu banyak keutamaannya. Orang-orang berbondong-bondong rajin beribadah untuk ngambil keutamaan-keutamaan yang sudah Gusti Allah berikan. Saya pun ikut-ikut begitu. Selalu berusaha sregep ngibadah di bulan mulia ini. Sholat berjamaah dijaga, tarawih tidak bolong-bolong, khatam Al-Qur'an syukur lebih 1 kali, menjemput lailatul qodar di 10 hari terakhir, dan banyak target-target lainnya.
Pada setiap target selalu saya usahakan untuk berhasil. Setelah maghrib, buka puasa kemudian siap-siap ke masjid melaksanakan tarawih. Membaca al-qur'an setiap selesai shalat minimal sekali satu lembar. Bangun pagi buta untuk sahur. Alhamdulillah, lebih sering targetnya tidak tercapai. Pengen khatam 1 kali saja kadang cuma setengah. Pengen tidak pernah bolong tarawehnya nyatanya pasti tetap ada yang bolong. Pengen rutin jamaahnya ya mesti ada saja yang tidak kesampaian jamaah. Hingga ketika sudah sampai di idul Fitri saya selalu punya raport tersendiri untuk menilai ibadah puasa. Ketika berhasil saya bersyukur "alhamdulillah" semua target di bulan ramadhan terlaksana. Ketika gagal saya berkata. "duh tidak nyampai target nih, semoga ramadhan tahun depan bisa sampai target lagi".
Setelah meraporti diri sendiri dan Ramadhan sudah lewat saya merasa selesai. Hidup berjalan seperti sediakala, sama seperti sebelum bulan puasa dan berdoa semoga sampai ke bulan puasa berikutnya agar bisa mengulangi hal yang sudah dilakukan sebulan lalu.
Sik, sik, pada suatu titik saya kok mikir kenapa kok saya sregepnya ketika puasa tok ya? harus nunggu setahun lagi buat sregep. Ah sepertinya keleru. Setelah dipikir dengan seksama dan setuntas-tuntasnya jebul saya merasa tujuanku iki salah. Terlalu tergiur dengan segudang iming-iming keberkahan Ramadhan membuat itu jadi alasan terkuat menjalani puasa Ramadhan. Seperti seorang anak yang hanya rajin membantu bapaknya ketika si bapak menawari imbalan. Ketika tidak? bodo amat.
Tentunya tidak salah kalau melakukan sesuatu atas dasar itu. Lha wong bapak sedang menawari imbalan masa ya gak diambil kan ya bodo. Apalagi kalau yang nawari gusti Allah kok gak dijemput ya bodo pake banget. Tetapi menjadikan iming-iming itu sebagai niat utama saya kok ya sudah nggak sreg. Membantu bapak ya membantu. Peduli amat dikasih imbalan atau tidak. Kalaupun dikasih imbalan ya disyukuri. Ngibadah rajin kepada Allah ya harus setiap waktu. Dapet atau tidak dapet sesuatu itu haknya Allah. Toh kita dapat atau tidak juga tidak kelihatan di dunia. Barangkali kita merasa dapat jebul nanti di cek di akhirat ternyata tidak. atau sebaliknya.
Lha trus? puasa biasa-biasa sajakah? begitu. No. Bismillah yuk dilakoni sekuat-kuate ati seperti biasanya tetapi saya kepengen mengubah niat. Tidak pengen menjadikan bulan puasa untuk panen pahala tetapi ingin memanfaatkan bulan ini sebagai ajang melatih kebiasaan. Dengan puasa kita terbiasa bangun jam 3. Tak niatkan itu sebagai sarana latihan. Terbiasa shalat malam, niatkan sebagai sarana latihan. Terbiasa ngaji satu lembar setiap habis shalat, niatkan sebagai sarana latihan. Di idul fitri nanti, saya tidak akan melihat apakah shalat, ngaji, ibadah sudah sesuai dengan target atau belum, tetapi kebiasaan apakah yang terbentuk dan bisa terbawa selepas ramadhan yang bisa dilakukan secara terus-menerus selama 11 bulan berikutnya setelah ramadhan.
Pernah saya baca cerita dari blog jamesclear.com, tentang seorang ahli bedah plastik pada 1950-an bernama Maxwell Maltz. Ketika Dr. Maltz akan melakukan operasi plastik, ia menemukan fakta bahwa diperlukan waktu sekitar 21 hari bagi pasien untuk terbiasa melihat wajah baru mereka. Demikian pula, ketika seorang pasien memiliki lengan atau kaki yang diamputasi, Maxwell Maltz memperhatikan bahwa pasien akan membutuhkan selama sekitar 21 hari sebelum menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Kemudian berkembanglah isu bahwa untuk membentuk sebuah kebiasaan baru dibutuhkan waktu 21 hari.
Padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Phillippa Lally, peneliti psikologi kesehatan di University College London. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam European Journal of Social Psychology memperoleh hasil bahwa rata-rata, dibutuhkan lebih dari 2 bulan sebelum perilaku baru menjadi otomatis, tepatnya 66 hari. Dan berapa lama kebiasaan baru terbentuk dapat sangat bervariasi tergantung pada perilaku, orang, dan keadaan. Dalam studi Lally, butuh waktu antara 18 hari hingga 254 hari bagi orang untuk membentuk kebiasaan baru.
Berarti kalau diniati untuk membentuk kebiasaan baru waktu satu bulan kurang to? aduh.
0 Komentar