Awal mula kami datang ke rumah ini sama sekali tidak ada kesan yang membuat tertarik. Rumahnya terpencil bukan karena berada di daerah terpencil, tetapi karena rumah ini terkurung oleh tembok tinggi rumah tetangga yang berada persis di depan teras rumah. Tembok itu adalah tembok belakang sehingga menutup pandangan. Dibokongi. Disamping kanan rumah ada kebun yang tidak terawat. Kotor dan rungkut istilah bahasa jawa. Pun di bagian belakang sama rungkutnya dengan kebun samping. Sebelah kiri pagar rumah tetangga lain. Tidak ada akses jalan untuk masuk ke rumah ini kecuali melalui kebun yg rungkut tersebut.
Tidak hanya itu, kondisi rumah pun jauh dari kondisi nyaman. Lantai kumuh, memang lama tidak dibersihkan tetapi kondisi plester memang sudah banyak yang hancur. Atap banyak yang bolong, dapur dan kamar mandi terlihat tidak begitu baik.
Beberapa bulan kemudian saya datang lagi karena teman saya mengatakan bahwa rumah sudah direnovasi dan ditawarkan kembali untuk di kontrak. Datanglah kembali saya kali ini dengan istri. Sengaja saya ajak istri agar terhindar dari kata misterius "terserah".
"Buk jadi ngontrak disana?"
"Terserah bapak saja"
Beberapa waktu kemudian.
"Lha kok tempatnya kayak gini! Harusnya nyari yang begini begini begini dong!" Bla bla bla.
Begitulah kiranya kalau sudah terjebak di kata terserah.
Waktu datang yang ke dua kali itu kondisi memang sudah berubah. Rumah sudah di renovasi sehingga menyandang status sangat layak dihuni. Pemilik juga sudah membangunkan jalan setapak untuk akses keluar masuk rumah. Jalan itu berada di sebelah kiri rumah yang dahulu rungkut. Alhasil kami pun bersepakat untuk ngontrak di rumah itu.
Bulan April 2020 kami boyongan ke rumah kontrakan. Benar-benar memulai hidup baru sebagai pasangan mandiri. Tentunya sowan dulu ke pak RT agar nantinya tidak di grebeg karena dikira pasangan kumpul kebo.
12 April kami boyongan, 13 April kami huni rumah ini. Sah-lah kami sebagai warga pendatang yang nunut ngiyub sementara di Desa ini. Kepetek dukuhnya. Ada patung lele besar terpasang di gapura masuk desa sebagai penanda bahwa disitu adalah pusat budidaya ikan lele. Benar saja, hampir setiap rumah punya tambak lele.
Tidak banyak hal yang membuat kami betah disini. Selain rumahnya yang cukup layak dengan harga terjangkau, tempatnya juga tidak terlalu jauh dengan tempat kerja. Selain itu tidak ada alasan pendukung. Kumuh, rungkut, dan terasing tadi adalah hal-hal yang sempat membuat kami onggang-onggong, goyah, ragu. Tetapi kami sadari golet panggonan tidak semudah yang dibayangkan. Jadi dapat ini harus sangat-sangat disyukuri.
Majunya waktu kegoyahan itu mulai sedikit terkikis. Masyarakat masih ndesa, dan itu yang kami inginkan. Hal-hal yang sudah mulai luntur di kalangan masyarakat pedesaan disini masih terjaga. Guyub, rukun, budaya monggo, sapa, salam antar tetangga masih terjaga. Saya pernah nolong anak tetangga yang datang karena sakit telinga. Saya belikan obat, sembuh dia. Sekali itu. Tetapi tetangga itu berbaik hati berkali-kali. Mereka sering sekali njujugi makanan ke rumah.
Berpapasan dengan mbah-mbah kemudian beliau berhenti, menyapa dan ngajak ngobrol. Pertanyaan-pertanyaan standar yang diajukan orang melihat orang asing di kampungnya. "namine sinten mas?, lenggah teng pundi? asli pundi? kerja teng pundi?" dan pertanyaan-pertanyaan sejenis. Ditutup dengan "mugi-mugi betah nggih mas teng mriki!". Hal-hal sederhana yang sangat menyenangkan, yang sudah tak mesti lagi ditemukan di setiap desa.
Anak-anak bermain gadget. Lumrah sekarang. Tidak ada lagi permainan yang dimainkan bersama-sama seperti kami kecil dulu. Petak umpet, gobak sodor, gobak gedhong, sudah manda, clekitan, dan lain-lainnya yang pastinya di tempat anda yang seusia saya juga ngalami permainan-permainan tersebut dengan nama dan peraturan yang mungkin berbeda. Permainan anak sekarang terletak di Play Store. Tidak ada tatap muka. Mentok-mentoknya hanya interaksi suara atau tulisan. Itupun tulisan bacot yang kami orang tua juga lakukan saat main game. "dasar bocil! bisa main gak lo??!!" tulis anak tetangga saya yang berusia 7 tahun.
Di desa ini ada lho anak-anak bermain petak umpet. Tak jarang bocah-bocah kecil itu lari-larian di depan rumah. Entah ada apa mereka ribut-ribut, gumamku. Tak selang lama ada satu temannya datang toleh kanan, toleh kiri. Oooh petak umpet to? "kae pada mlayu meng kana!" teriakku.
Di halaman rumah sebelah sawah, samping rumah pak RT, anak-anak bermain kelereng. Di halaman yang lain, 200 meter dari rumah itu ada satu kelompok juga yang memainkan hal yang sama. Play Store sepertinya tidak begitu laku disini. Dan ini menambah sepercik kesan betah terhadap tempat tinggal baru.
Lama saya tidak berjamaah di Masjid. Alasannya adalah, kita itu sedang pada masa new normal yang mengharuskan menjaga protokol kesehatan. Alasan itu saya laksanakan sebagai dalil yang membuat saya merasa nyaman tidak berjamaah. Padahal hanya pembenaran saja karena sejak dulu saya adalah orang yang malas ke masjid. Suatu ketika saya beranikan diri. Ketika nampaknya situasi dan kondisi per-virusan sudah sedikit amleng, sepi, bergegas saya kenakan pakaian koko terbaik dan berangkatlah ke Mushola. Waktu sholat Dzuhur. Menyenangkannya adalah, anak-anak yang tadi bermain kelereng sudah berjejer rapi memenuhi shaf. Saya sering lihat suasana seperti ini di kampung-kampung. Tetapi waktu Maghrib. Dzuhur? jarang sekali. Barangkali ini kebetulan, ternyata tidak, hari-hari berikutnya sama. Mereka penghuni shaf-shaf terdepan dalam setiap shalat. Anak-anak kecil.
"kok saya jadi betah ya?". Hampir satu tahun berstatus pendatang, tamu, suasana-suasana kecil seperti ini menutup kejenuhan atas kekumuhan-kekumuhan yang pada awal-awal kami datang selalu kami keluhkan. Desa yang enak untuk di tinggali.
"pak Fitran! pak Fitran! ngaji pak!!" seru anak-anak selepas sholat Maghrib sesaat selepas saya keluar menuju pulang. Anak-anak perempuan yang sudah sedikit dewasa bertadarus di dalam walaupun tanpa pembimbing.
"sesuk ya?!" jawabku. Saya harus momong.
0 Komentar