Markesot adalah manusia media. Aktifitasnya memang seperti manusia pada umumnya. Dia makan, tidur, bekerja, bermain, mencari jodoh dan apapun kegiatan semacam yang dilakukan oleh kita. Tetapi itu lahirnya.

Kehidupan baginya adalah apa yang dia ketahui dari media yang dia akses. Ia berperilaku, mengambil kesimpulan dari sebuah peristiwa, berkomentar, menurut apa yang bisa ia baca, dengar, dan lihat dari media. Jika pak Supri menanam padi, tetapi Markesot tidak pernah menemui di media nya bahwa pak Supri sedang menanam padi, maka Markesot menganggap pak Supri sedang tidak menanam padi. Jika ada yang cerita bahwa pak Supri sedang menanam padi maka dia tidak percaya. Bahkan dia sesumbar di story whatssapnya, atau Instagramnya dengan mengatakan "pak Supri payah, dapat warisan tanah seluas itu tidak bisa menanam padi"

Pun sebaliknya, suatu ketika pak Supri sedang tidak menanam padi, kemudian dia lihat di medianya bahwa pak Supri sedang menanam padi, itulah yang dia percaya. Ketika ada orang yang bercerita bahwa pak Supri sedang tidak menanam padi, dia tidak percaya. Bahkan dia sesumbar di story whatssapnya, atau Instagramnya dengan mengatakan "pak Supri yang rajin sedang menanam padi"
Begitulah markesot, kebenaran adalah apa yang ada di medianya. Kehidupan adalah apa yang ada di medianya.

Markesot bukan seorang pembelajar. Alhasil apa yang dia keluarkan dari medianya semau dan sesuka dia. Kita sedang geger dengan Covid. Makhluk yang sama sekali tidak terjangkau oleh semua indra kami orang-orang desa. Kami cuma bisa tahu sebatas pemberitaan yang beredar.

Pun dengan Markesot. Dia asik dengan medianya bermain Covid. Dia baca, lihat, dan dengar kebijakan pemerintah tentang apapun berkaitan dengan Covid. Pemerintah menerapkan PSBB misalkan, atau anjuran pemerintah berkait protokol kesehatan. Markesot merespon itu. Kadang dengan pernyataan setuju, terkadang ketidaksepakatan, kritik, atau bahkan misuh. Dia respon tentang PSBB di story nya, tapi ternyata dia tidak paham betul apa itu PSBB.

Ulama-ulama mengeluarkan panduan peribadahan pada masa Covid. Markesot tidak terlambat merespon. Suatu saat dia sepakat dengan anjuran untuk tidak beribadah di masjid. Suatu saat dia broadcast di story nya kalau lebih baik ibadah di masjid saja. Padahal dia tidak belajar dahulu ketika ada ulama yang mengeluarkan panduan. Jadi sepakat dan tidak sepakatnya dia terhadap apapun suka-suka dia saja.

Jon Pardon adalah teman markesot. Namanya keren kebarat-baratan, singkatan dari nama aslinya Jono Pardiono. Dia dulu layaknya Markesot. Berbekal internet numpang di kantor tempat dia bekerja dia menjadi peselancar media. Tetapi Jon Pardon lebih menyukai laman-laman berita. Agar wawasannya luas katanya. Tetapi semenjak muncul kasus Walikota dilaporkan karena pelecehan agama Jon Pardon menjadi apatis media. Karena semenjak itu dia semacam menyimpulkan bahwa media-media tidak hanya penyampai informasi, tetapi menjadi penyiar ideologi dan kepentingan pemilik-pemiliknya. 

Semenjak itu dia menjadi sangat jarang menyimak media. Pun ketika dia harus membaca, dia punya kemampuan untuk menyaring dan mempelajari sebelum sharing. Sehingga dia tidak menjadi manusia yang responsif tanpa dasar. Dia berprinsip apapun yang akan dia bagi haruslah bisa dipertanggung jawabkan. Jika saat Covid ada anjuran untuk menunda dahulu shalat jamaah dan mengganti shalat di rumah, maka ia akan mempelajari dulu, minimal membaca alasan-alasan dibalik anjuran itu baru kemudian dia mengeluarkan keputusan untuk setuju atau tidak, dan memutuskan untuk share atau tidak. Jika setuju dia tau alasannya, jika tidak setuju diapun tau alasannya dan punya referensi atas pernyataan ketidaksetujuan tersebut. 

Markesot adalah manusia media, begitu juga Jon Pardon. Tetapi mereka berbeda.