Pada masa mudanya itu, kabar tentang Muhammad
dan agama yang dibawanya menyeruak ke seluruh penjuru Mekkah. Kabar itu sampai
pula ke telinga Mush’ab.
Mush’ab mendengar bahwa Rosulullah bersama
pengikutnya sering mengadakan pertemuan di suatu tempat yang jauh dari ancaman
orang Quraisy. Tempat itu ada i bukit Shafa, yakni di rumah sahabat Al-Arqam
bin Abul Arqam.
Untuk mengobati rasa penasarannya, suatu malam
Mush’ab datang ke rumah sahabat Arqam untuk mengikuti pertemuan dengan
Rosulullah. Ketika ia baru duduk, lantunan ayat Al-Qur’an mengalir dari kalbu
Rasulullah, bergema melalui kedua bibir beliau, mengalir sampai ke telinga dan
meresap ke dalam hati para pendengar. Begitu juga dengan Mush’ab, hatinya
tunduk oleh ayat Al-Qur’an tersebut.
Pertemuan itulah yang kemudian menjadikannya
seorang muslim.
Setelah masuk Islam, tidak ada yang paling
ditakuti oleh Mush’ab kecuali ibunya. Seandainya Mekkah, dengan segala patung,
tokoh-tokoh terhormat, dan padang pasirnya membentuk sebuah sebuah formasi yang
mengepung dan memusuhinya, Mush’ab menganggap itu bukanlah musuh yang berat.
Tetapi bila bertemu ibunya, itu yang membuat dia khawatir dan gelisah. Maka ia
memutuskan untuk menyembunyikan keislamannya.
Pepatah Indonesia mengatakan,
sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga. Begitulah dengan
Mush’ab. Bagaimanapun dia menyembunyikan keislamannya, ibunya akhirnya
mengetahui juga. Pelak ibunya marah kemudian mengurungnya di sebuah ruangan
yang tertutup rapat.
Mush’ab tinggal di kurungan itu sekian lama.
Hingga suatu ketika ia mendengar berita bahwa beberapa kaum muslimin hijrah ke
Habasyah (Etiopia). Mush’ab sangat ingin untuk ikut hijrah bersama dengan
sahabat yang lain hingga akhirnya ia berhasil mengelabui penjaga-penjaganya.
Akhirnya Mush’ab ikut hijrah ke Habasyah.
Mush’ab hijrah dan meninggalkan semua
kenikmatan yang telah ia miliki. Pakaian yang ia kenakan adalah jubah yang
usang. Padahal dahulu apa yang ia kenakan bagaikan bunga-bunga di taman hijau
yang terawat dan menyebarkan bau yang wangi.
Rosulullah menatapnya sembari tersenyum
kemudian bersabda :
“Aku telah mengetahui Mush’ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekaah yang lebih dimanja oleh orang tuanya seperti dirinya. Kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”
Suatu saat Rasulullah memilih Mush’ab untuk
melakukan tugas untuk mengajarkan agama kepada orang-orang Anshar yang telah
beriman di bukit Aqobah, Madinah. Ia menjadi utusan Rosulullah Saw.
Ketika itu sebenarnya masih banyak tokoh yang
lebih tua di kalangan sahabat, tetapi Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada
Mush’ab. Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal kearifan pikir dan kemuliaan
akhlak yang dikaruniakan Allah kepadanya. Kezuhudan, kejujuran, dan kesungguhan
hatinya telah berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga
mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Di madinah Mush’ab tinggal sebagai tamu di
rumah As’ad bin Zurarah. Ia bersama As’ad mengunjungi rumah-rumah nruk
mendakwahkan Islam.
Mush’ab beberapa kali mendapati peristiwa yang
mengancam dirinya. Suatu hari ketika ia sedang memberikan petuah kepada
masyarakat, tiba-tiba disergap oleh Usaid bin Al Hudhair, pemimpin kabilah
Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan belati yang terhunus. (bersambung)
*tulisan ini adalah rangkuman dari buku berjudul Biografi 60 Sahabat Nabi karya Khalid Muhammad Khalid
0 Komentar