Pada suatu malam, saya dan istri pulang kerja jam 8 malam. Karena menyelesaikan satu dan lain hal, berkemas dan sebagainya, ditambah kondisi istri yang agak kurang sehat, mungkin sekitar jam 9 kami baru pulang.

Perjalanan pulang berlangsung biasa-biasa saja tidak ada yang spesial. Paling tidak sampai dengan setengah perjalanan. Karena pada pertengahan jalan itu, tiba-tiba motor sediki nggleyot tidak enak dikendarai dan saya menyadari bahwa ban motor bocor, tidak mungkin melanjutkan perjalanan. 

Sejenak kami menepi mencari ide harus bagaimana walaupun jawabannya sudah pasti harus mencari tukang tambal ban terdekat atau kami tidak bisa pulang. Kami pinggirkan motor dan masuk ke warung nasi goreng untuk sekedar bertanya. Alhamdulillah Bapak penjual nasi goreng bertubuh gemuk dengan rambut putihnya memberi petunjuk bahwa kurang lebih 500 meter ke arah timur ada SD, depan Minimart, disitu ada gang ke utara. Kami diarahkan untuk masuk saja gang itu sekitar 100 meter. Bapaknya mengatakan nanti akan terlihat plang tambal ban disitu. Kamipun mengikuti petunjuk itu. 

Karena ban yang terlampau kempes, tidak mungkin kami tumpangi berdua. Akhirnya istri saya suruh nggladak (mengendarai pelan-pelan) dan saya berjalan dibelakangnya walau cukup jauh. Setelah sampai pada SD yang dikatakan Bapak tadi, kamipun masuk gang dan mencari-cari dimana ada bapak-bapak tambal ban berada. Setelah berputar-putar blas kami tidak menemukannya. Sedikit sedih dan bingung. Barangkali waktu sudah menunjukkan hampir jam 10 malam dan henpon kami berdua sama-sama mati. Tidak bisa minta pertolongan.

Ditengah-tengah keputus asa-an, kami bertemu dengan ibu-ibu baik beserta anak gadisnya. Dia tidak hanya memberikan petunjuk saat kami tanya tetapi ikut berjalan mencarikan tukang tambal ban. Ibu itu mengantar kami ke rumah-rumah warga yang biasa nambal ban. Tapi hasilnya nihil pula. 

Tidak ada pilihan lain selain kembali berjalan mencari lagi. Bahkan kemungkinan terburuk adalah harus berjalan sampai rumah yang jauhnya tidak ratusan meter lagi tapi beberapa kilometer. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Sungguh suasana malam yang trenyuh, sungguh! Istri kembali nggladak motornya dan saya berjalan dibelakang, entah sejauh mana kami harus berjalan pun belum diketahui.

Ditengah trenyuhnya suasana, keringat yang mulai mengucur, tiba-tiba ada sepeda motor berhenti disampingku. Seorang anak muda menawarkan bantuan, dia memintaku untuk membonceng motornya dan mengetakan akan mengantar sampai kami menemukan tambal ban. Sebagai orang Jawa yang perwira, sebutuh apapun bantuan pasti kalimat pertama yang terucap "mboten usah mas, ngrepoti njenengan", padahal yo sangat berharap, dan untung saja dia memaksa sehingga terjadilah transaksi tolong menolong tersebut. Istri saya minta untuk membonceng pemuda tersebut dan saya nggladak motor sampai dengan tukang tambal ban terdekat. 

Bersyukur sudah bertemu tukang tambal ban tetapi belum bisa bersenang-senang karena ternyata tidak ada orang bengkel itu. Sudah ketuk pintu berkali-kali tetapi tetap saja tidak dibuka. Ujian belum selesai kawan. Saya sudah agak putus asa walaupun mas pemuda baik masih memaksa untuk membantu untuk menemani sampai ketemu tukang tambal ban yang buka. Trenyuh atas ujian ini sekaligus trenyuh ada anak muda sebaik ini, yang kemudian kami berkenalan. Namanya Pras

Karena sudah tidak enak dengan mas Pras, saya mencari solusi lain. Kebetulan disamping warung tambal ban yang tutup itu ada sebuah rumah yang saya tau itu rumah siapa. Orang yang saya kenal cukup baik. Dia adalah pak Bagus yang pernah menasehatiku pada tulisan Memberkahi Rezeki. Dengan berat hati saya ketuk rumah itu walaupun merasa sangat tidak sopan karena beliau adalah orang tua. Tapi kondisi sudah sangat mepet dan pilihan itu harus diambil. Dan Alhamdulillah beliau membukakan pintu dan bersedia menolong kami. Rencanaku kali ini berhasil. Pak Bagus bersedia membantu meminjamkan motornya, motor kami yang belum layak pakai kami tinggal dirumah beliau.

Sungguh banyak orang-orang baik yang mau membantu padahal waktu istirahatnya diganggu oleh anak muda yang kurang sopan, beliaulah pak Bagus. Bahkan ada yang memaksa membantu walaupun sama sekali tidak kenal dan tidak mengharap imbalan apapun. Dia-lah mas Pras.

Saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu saya melihat orang yang senasib denganku. Ketika hendak berangkat kerja, baru saja keluar dari gang perumahan, berbelok ke kiri di jalan beraspal sedikit menanjak. Disitu saya melihat seorang bapak dengan susah payah menuntun motor. Entah motor itu rusak, kehabisan bensin, atau bocor. Saya sedang berbonceng mesra dengan istri. Sontak saya prihatin melihat bapak itu dan berbisik kepada istri 

"nduk, kasian yo Bapak itu, nuntun motor". 

Istri saya menjawab "iya"

dan kami berdua tetap melanjutkan perjalanan. 

Beda kelas seorang Fitran dengan mas Pras. Saya cuma bisa bergumam prihatin melihat orang kerepotan dipinggir jalan sedang mas Pras menghampiri dan membantu.

Malam itu sungguh lelah tapi susah tidur. Karena ternyata kami kadang tidak mempu berbuat baik.