Cahaya matahari menyorot dari sisi timur menembus
lubang udara di atas jendela kamar Markesot. Jendela itu menghadap ke timur
sehingga setiap pagi harus selalu bertemu dengan cahaya itu. Markesot baru
membuka mata kala itu. Mungkin letihnya semalam membuatnya tak mendengar ayam jago
berkokok, pun dengan suara sumbang adzan Shubuh Bang Kasep.
Terhuyun-huyun ia beranjak dari tempat tidurnya. Ingin
segera mengambil air wudhu dan melaksanakan shubuh yang kesiangan itu. Sebentar
lagi ketika hawa sudah mulai menghangat ia harus mengambil sepedanya yang
sedang diperbaiki di bengkel. Itupun jika bapak bengkel paham bahwa sepeda itu
tergeletak di pelataran bengkel minta diperbaiki. Maklum saja Markesot pergi
tanpa meninggalkan pesan apapun tadi malam. Karena memang tidak ada orang yang
bisa dititipi pesan.
Ia harus berjalan kurang lebih dua kilometer menuju
jalan besar, melewati jalan aspal yang sudah banyak mengelupas. Lubang-lubang
dan kerikil serpihan aspal membuat kendaraan yang lewat tidak bisa melaju
cepat. Ia harus menaiki angkutan umum
untuk menuju ke bengkel dimana sepedanya dititipkan.
Satu batang rokok habis dihisap Markesot sampai dengan
datangnya angkutan umum yang ditunggu. Artinya kurang lebih sepuluh menit ia
menunggu. Biasanya angkutan pada jam-jam itu sepi. Tetapi hari itu ramai penuh.
Markesot terpaksa harus berdiri bibir pintu samping angkutan itu. Bak kernet
mikrolet yang bergelantung sambil melihat-lihat barangkali ada penumpang yang
mau naik. Bahkan sesekali ia harus turun dahulu dan mempersilahkan masuk jika
ada orang yang hendak ikut serta bersama mobil berwarna merah itu.
Pada setengah perjalanan sudah ada bangku kosong
karena beberapa penumpang sudah turun. Namun tetap saja angkutan terasa sesak
karena pada bagian tengah disamping pintu masuk kernet tertumpuk dua karung berisi
puluhan buah kelapa. Membuat penumpang yang berada di dalam tidak bisa bergerak
leluasa. Markesot harus mengangkangkan kaki cukup tinggi melangkahi satu karung
buah kelapa untuk dapat duduk di bangku kosong yang berada pada kursi baris
kedua, tepat dibelakang sopir.
Tidak selang lama markesot duduk, angkutan berhenti. Ada
penumpang hendak turut. Satu orang wanita remaja dan satu lagi laki-laki muda
kurus dengan janggot pendek membopong anak bayinya. Bapak muda itu tidak
kebagian tempat duduk. Ia harus berdiri dengan bayinya. Markesot iba
melihatnya. Apalagi semalam ia berjanji akan lebih sering membantu orang-orang
yang membutuhkan. Tetapi kondisinya sedikit sulit. Ia ingin menawari bapak itu
untuk duduk di bangkunya, tetapi jarak bapak lumayan jauh, apalagi terhalang
oleh tumpukan karung-karung buah kelapa. Untuk keluar dari posisi duduknya pun
Markesot kesulitan. Apalagi jika angkutan sedang berjalan. Bergonjang-gonjang,
sesak penumpang, dan rintangan kelapa. Sudah pasti jika dia berhasil keluar,
bapak itu akan kesulitan pula untuk masuk dengan bayinya. Lama markesot mencari
solusi untuk permasalahan itu tetapi tidak berhasil jua hingga sang bapak
mendapatkan tempat duduknya sendiri ketika ada penumpang yang turun. Bersamaan dengan
bungkusan kelapa yang ikut turun juga. Membuat kondisi angkutan terasa lebih longgar
meski masih penuh orang. Markesot lega walaupun dia tak berhasil membantu.
Kesempatan berbuat baik berikutnya datang ketika
angkutan kembali berhenti saat ada orang melambaikan tangan di tepi jalan
pertanda hendak ikut. Perempuan muda berambut hitam lurus. Kulitnya putih mulus
dengan pakaian yang ketat dan minimalis. Dia juga membawa bayi layaknya bapak
muda tadi. Bedanya ibu ini tidak hanya membawa bayi tetapi lengkap dengan
trolinya. Posisi Markesot sudah sangat
memungkinkan untuk menawarkan bantuan tempat duduk karena jumlah manusia di
dalam sudah tidak se-sesak tadi, karung-karung kelapa pengganggu pun sudah
diturunkan. Tetapi kini hatinya bergejolak gundah gulana. Bapak penggendong
bayi tadi masih ada di dalam angkutan. Jika ia menawari perempuan itu duduk
Markesot khawatir bapak itu akan sambat atau minimal mbatin “masnya mata
keranjang ya? Saya tadi tidak dapat tempat duduk kok tidak ditawari. Giliran cewek
cantik baru ditawari. Ganjen!”
Markesot dilema. Menurut Anda apa yang harus ia
lakukan?
0 Komentar