Malam belum terlampau jauh beranjak pergi, belum menghabiskan setengah jatahnya. Markesot kala itu sedang mengendarai sepeda bututnya melintasi sebuah jalan desa yang cukup ramai orang-orang berlalu lalang. Sepedanya tua tetapi masih baik fungsinya. Hanya cat nya yang sudah mengelupas seolah menandakan bahwa dia sudah hidup berpuluh musim, disengat panas matahari dan tertimpa butir-butir air hujan. Markesot tidak pernah punya keinginan untuk menggantinya dengan sepeda baru karena sepedanya adalah sejarah. Dia ada semenjak ayahnya masih bujang, sebelum tau siapa bakal ibu dari Markesot yang tak beradik dan berkakak itu. Kala itu harganya mahal, dua ekor sapi. Begitulah Markesot menjawab jika ada yang menawar sepedanya. “harganya dua ekor sapi”

Sepandai orang merawat, ada kalanya ketiban apes juga. Malam itu sepeda Markesot tidak mampu melanjutkan tugasnya membawa barang bawaan sampai tujuan. Sebilah duri kecil melintang di tengah jalan menancap di roda belakang sepeda Markesot. Menyisakan lubang halus yang membuat angin di dalamnya berhambur keluar sehingga roda kehilangan kekuatan untuk menopang beban berat di atasnya. Markesot tidak mungkin memaksa menunggangi sepeda itu kecuali jika barang yang dia bawa dia tinggalkan. Karena jika dipaksa ditunggangi berdua, sangat beresiko dia celaka ditengah jalan. Kalaupun tidak, bisa dipastikan sepedanya akan rusak semakin parah akibat pemaksaan itu.

Dia bingung di tengah keramaian. Banyak orang namun berasa sendiri. Banyak orang bersliweran mengendarai motornya tetapi tak satupun memberikan bantuan, paling banter hanya menengok ke arahnya kemudian berlalu. Entah solusi apa yang akan dia ambil.

Ditengah runyamnya pikiran akibat belum ketemu solusi, dia tetap berjalan menuntun sepedanya sembari berharap datang bantuan. Atau paling tidak, ada bengkel yang masih buka walaupun dia sadar bahwa ini adalah waktu dimana orang-orang sudah pergi ke alam mimpinya.

Duh, ini to yang orang-orang pernah rasakan” Gumamnya.
Ia teringat bahwa seringkali di tengah jalan ia menjumpai orang yang menuntun sepedanya seperti yang ia rasakan saat ini. Markesot memang sering melihat itu, orang yang mengalami apa yang kini ia alami, tetapi tidak pernah sekalipun ia membantu. Ia merasa cukup puas dengan hanya bergumam “kasihan sekali bapak itu”, lalu pergi berlalu. Mungkin orang-orang yang berlalu lalang itu sedang melakukan hal yang sama terhadap Markesot. “duh, kasihan Markesot”, kemudian berlalu.

Namun tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara gagah seorang pemuda yang memanggilnya.
“mas, sepedanya bocor? Ayo tak bantu mencarikan bengkel”
“tidak usah mas merepotkan” jawaban spontan Markesot yang keluar begitu saja tanpa difikirkan. Karena itu sudah menjadi anggah-ungguh kehidupannya sejak kecil. Sebutuh atau seingin apapun terhadap suatu hal pasti akan keluar kalimat basa-basi semacam itu.

Agak menyesal Markesot dengan kalimat yang baru diucapkannya tadi. Untung saja pemuda yang tak dikenalinya itu memaksa.

“tidak apa-apa mas, sama-sama orang jalan harus saling membantu”

Akhirnya dengan perasaan senang dan tidak enak hati Markesot menerima tawaran bantuan pemuda itu. Barang bawaan Markesot dititipkan di motor pemuda sehingga ia bisa sedikit memaksa menaiki sepedanya paling tidak sampai ia menemukan tempat dimana dia bisa memperbaikinya.

Tidak selang lama berjalan Markesot dan kawan barunya menemukan sebuah bengkel. Girang hati Markesot karena masih ada cahaya di rumah kayu itu. Berharap penghuninya masih mau membukakan pintu sehingga masalahnya bisa segera teratasi. Namun satu dua kali ketukan pintu dan ucap salam dari Markesot tidak menjumpai suara apapun pertanda ada kehidupan di dalamnya. Ia masih punya kesempatan terakhir, ketukan ketiga. Dia tidak mau mengetuk sampai empat kali karena begitulah ayahnya mengajarinya. Etika katanya. Jika bertamu cukuplah diketuk sebanyak tiga kali, jika tidak ada jawaban, maka pulanglah. Ketukan ketiga masih tidak menjumpai pula kabar gembira. Markesot kembali berputus asa.

Mas pemuda baik hati disampingnya justru masih bersemangat untuk membantu Markesot sampai dia menemukan bantuan. Tetapi waktu sudah larut dan dia sudah kehabisan asa untuk melanjutkan perjuangan. Akhirnya si mas baik itu menawarkan solusi lain. Dia akan antar Markesot pulang, sementara sepeda Markesot ditinggal saja di bengkel itu. Biar esok pagi Markesot kembali saat abang bengkel sudah kembali siap melayani pelanggannya. Markesot menerima tawaran tersebut.

Sesampai di rumah dia merebah siap melepaskan segala penat yang dialaminya seharian, ia merenung bahwa ternyata ada orang yang begitu baik yang sudi menolongnya padahal sama sekali tidak saling kenal. Ia malu kepada dirinya sendiri yang sering melihat orang membutuhkan bantuan tetapi dia hanya mengumbar empati dengan kalimat-kalimat belas kasihan, tetapi tidak melakukan apapun. Sedangkan ia malam ini tertolong oleh orang baik yang tidak hanya mengasihani sambil lalu, tetapi menemani hingga masalahnya teratasi.

“mulai besok aku akan menolong orang yang membutuhkan bantuan!” bisiknya kepada dirinya sendiri sebelum matanya benar-benar terpejam di rampas lelah.

tu bi kontinyut...