Salah satu ketidaksenangan hidup menjadi dewasa adalah harus memikirkan sesuatunya sendiri. Dulu tak perlu memikirkan mencari makan. Bangun tidur mamak sudah menyiapkan segalanya, tinggal ngemplok. Begitu pula sepulang sekolah, lapar perut tinggal buka lemari makan dari kayu yang pintunya sudah sedikit keropos dimakan rayap. Makanlah apa adanya.

Sekolah tinggallah sekolah. Tak perlu memikirkan darimana orang tua mencari uang untuk bayar SPP, membeli buku, peralatan sekolah, serta uang jajan yang sering disalah gunakan untuk rental PS. Padahal beberapa kali saya nyekseni sendiri ketika jatuh tempo pembayaran SPP Bapak sowan ke rumah tetangga untuk berhutang uang.

Saya lahir bukan dari orang kaya, tetapi masa kecil cukup bahagia karena orang tua banyak menyediakan stok mainan di rumah. Jadilah rumahku sebagai tempat persinggahan teman-teman yang ingin juga ikut menikmati mainanku. Barangkali itulah trik orang tua agar aku tidak menjadi anak dolan yang senang main di luar rumah.

Tetapi menginjak dewasa semua harus dicari sendiri. Jika teman-teman yang lain bisa melanjutkan kuliah karena orang tua masih mampu membiayai, saya harus berjuang sendiri untuk itu. Tidak tega jika harus membebani orang tua. Sejak saat itulah kesenangan masa kecil harus dienyahkan. Waktunya berfikir bagaimana mencari uang, bagaimana bertahan hidup dari uang yang diperoleh, bagaimana jika kantong sudah kempes tetapi perut butuh diisi makan, bagaimana membayar biaya kuliah jika memang ingin melanjutkan, dan bagaimana-bagaimana yang lain yang harus difikirkan dan diselesaikan sendiri. Ah, menjadi dewasa memang tidak enak.

Setidak enak apapun karena itu kebutuhan maka harus dilakukan. Jika dijalani dengan penuh nikmat dan syukur pasti kesampaian juga. Dan benar saja atas pertolongan Allah masa-masa kuliah selesai. Bahagia sebentar tetapi harus mikir lagi. Saatnya bekerja. Ah, andai hidup seperti dulu. Main, makan, minta uang jajan, hingga datang malam beranjak tidur, besok bangun mengulangi aktifitas tersebut tanpa harus mikir berat. Salah satu beban pikiran hanyalah PR. Pun itu bisa dibagi dengan teman-teman, mereka mengerjakan saya mencontek, heheu, nikmat.

Mikir bekerja kemudian dapat lahan pekerjaan dan tak terasa usia menua. Satu per satu teman-teman melepas masa lajangnya. Tak masalah sebenarnya karena jodoh sudah diatur. Tetapi jika lama kelamaan dan satu persatu kejombloan teman-teman usang, tinggallah saya menjadi bahan bully-an. Semencoba tegar seperti apapun ada masanya nyesek juga, ditambah hormon kepengen menikah juga bergejolak di dalam hati.

Setelah kenyang menikmati masa pem-bully-an sebagai bujang, akhirnya waktu itu datang juga. 19 September 2019 saya menikahi seorang gadis bernama Tuti. Wanita yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ujug-ujug Allah datangkan melalui proses yang cukup singkat namun penuh makna. Saya mengira masa-masa ini adalah akhir dari ketidak senangan menjadi orang dewasa, karena sudah ada orang yang senantiasa mendampingi, bersama-sama mengarungi lika-liku hidup.

Hidup berdua sungguh nikmat. Setidaknya sebelum kemarin kami menyadari bahwa isi dompet sudah sangat menipis padahal bulan baru beranjak pada tanggal tengahan. Sehingga kami harus memutar otak untuk memanfaatkan segala sumber daya yang masih dimiliki sebelum tanggal cantik datang. Ah, ternyata menjadi dewasa memang harus berfikir.