Suatu ketika saya diajak oleh teman saya pergi ke kota. Sebagai teman yang baik saya meng iya kan saja ajakan itu. Ternyata teman saya itu mengajak satu teman lagi. Jadilah kami berangkat ke kota bertiga. Saya, Rafi, dan Wahyu. Rafi-lah yang mulanya mengajak. Wahyu di ajak juga untuk nyupiri.
Seusai urus-urus keperluan selesai kami bertiga berniat langsung pulang. Sesampai di tengah jalan tiba-tiba saya teringat ada yang harus saya ambil di rumah. Mengingat perjalanan pulang melewati rumahku maka saya meminta kepada teman-teman untuk singgah sejenak ke rumah untuk ngancani saya mengambil barang yang tertinggal itu.
"Raf, Yu, mampir rumahku sik yo, ambil barang-barang"
Teman yang ikhlas itu bernama Wahyu. "ya wis ayo, gass!" jawabnya dengan nada loosss penuh keikhlasan.
Satu teman nampaknya agak nggerundel. "dian**k! wong aku yang ngajak kok yo malah se enak e bae mampir-mampir" jawabnya sedikit kesal.
Tetapi Rafi tidak berdaya karena Wahyu lah pemegang kemudi mobil. Sekeras apapun dia menolak jasadnya cuma bisa pasrah di dalam mobil. Mengikuti kelak - kelok jalan mobil yang mengarah ke rumahku.
Kesal Rafi tidak sebenar-benarnya kesal karena bagaimanapun kita adalah teman dekat yang tak pernah bermusuhan satu sama lain. Jadi ending dari ungkapan perasaannya adalah "ya sudahlah, senajan tadi terpaksa tapi apa daya sudah sampai sini juga, aku ikhlas"
Cerita diatas adalah perumpamaan ikhlas. Mulut orang hidup seringkali berkata "saya ikhlas" tetapi kita tidak tahu sedalam apa dia benar-benar ikhlas. Karena ikhlas sepertinya berkategori.
Rafi bisa ikhlas bukan karena dari awal dia sudah ikhlas. Tetapi karena keadaan yang membuat dia menjadi ikhlas. Sama seperti ketika kita berada di masjid, tiba-tiba kotak infak lewat. Kita buka dompet, ada dua lembar uang disitu, lima ribu rupiah dan lima puluh ribu rupiah. Kita berniat memasukkan lembaran lima ribu ke dalam kotak infak tersebut. Tetapi ketika sudah keluar masjid dan dilihat kembali dompetnya ternyata yang tadi dimasukkan adalah lembaran lima puluh ribu rupiah. "yaudah gimana lagi? harus diikhlaskan". Tetap ikhlas, tetapi ikhlasnya karena keadaan.
Ikhlas paripurna adalah sebagaimana ikhlasnya Wahyu, losss, tidak terpengaruh hal lain. Ikhlas tersebut seperti orang buang air di kali. Begitu ada bunyi "templung" ke dalam air, maka kita tidak ingin melihat kembali apa itu yang jatuh. Apalagi mencarinya. Losss begitu.
Mari kita ikhlas,,
Cerita pengantar agak fiktif. Jika ada yang merasa ada kesamaan nama, alur cerita, mohon maap ya mbloo...
0 Komentar