Pada suatu senja di warung kopi mak Ijem , ada agenda pertemuan beberapa orang pemuda. Mereka sahabat karib yang disatukan di warung itu. Menjadi sahabat karena kebiasaan mereka ngopi ketika menghabiskan waktu senja. Barangkali itulah yang menjadikan warung kopi mak Ijem mempunyai nilai kemuliaannya tersendiri karena mampu menyatukan orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak kenal menjadi laiknya saudara.
Karto datang terlebih dahulu. Ia duduk di bangku paling pojok, kanan belakang. Itu adalah tempat favorit mereka. Karena tempat itu tepat di jendela yang menghadap ke puluhan hektar sawah. Jika musim padi tumbuh menghijau terlihat sangat indah tersorot sinar matahari sore. Sambil menunggu kopi tubruk sedang dibuatkan oleh Imah, anak gadis mak Ijem, Karto membaca koran yang ia tenteng dari rumah.
Tak selang lama datanglah dua orang geng tongkrongan ngopi sore. Mereka adalah Anto dan Kadir. Anto datang dengan senyum mengembang, gigi putih kekuning-kuningannya nampak. Itulah ciri khasnya. Jarang ditemui ia cemberut walau keadaannya sedang susah sekalipun. Nampaknya bibirnya memang tercipta untuk selalu simetris melengkung ke atas. Hal itu yang menyebabkan teman-temannya menjulukinya "Anto mesem".
Kadir hampir mirip dengan Anto. Lebih banyak menghabiskan hari-harinya dengan semangat, walaupun kerjanya hanya menjadi tukang parkir. Bedanya bibirnya tidak selalu tersenyum, kadangkala cemberut ketika sedang jengkel.
Ketiga sahabat tersebut terkenal dengan pemuda yang baik dikampungnya. Rajin ibadah, suka menolong tetangga, ramah, dan punya nilai-nilai idealis layaknya pemuda harapan masa depan bangsa.
Kedatangan Kadir dan Anto sedikit mengobati kegalauan Karto. Dia sebenarnya pada posisi yang sedang stres berat. Bagaimana tidak? Dia adalah calon legislatif yang dipastikan tidak lolos karena tidak cukup suara ketika Pemilu kemarin. Dia sengaja mengundang Kadir dan Anto untuk sedikit melepaskan beban kegalauannya, karena kedua orang itu selain dari wajahnya sudah menghibur juga kadang bisa menjadi kawan untuk diajak diskusi.
Laiknya teman yang sepertinya paham dengan situasi dan kondisi Karto, Kadir membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Sabar ya Kar, kabeh sudah digariskan oleh gusti Allah"
"iya Dir, tak masalah. Aku ikhlas dengan hasilnya, hanya sedikit mangkel melihat apa yang terjadi" Karto mulai membuka pembicaraan yang nampaknya dengan tema yang sedikit serius.
"Lha, anu bagaimana kepriben kang?" celetuk Anto yang memang selalu polos.
"kurang apa si aku ya? hidupku sudah ku abdikan semua kepada masyarakat tapi kok ya mereka milih yang lain hanya karena amplop lima puluh ribu" keluh Karto. "aku sebenere juga sudah nyiapke tumpukan amplop, siap edar, tapi aku masih mikir moral, mikir dosa, makanya amplopku gak jadi keluar."
"ya wis Kar, sikap jujurmu itu sing aku salut. Bagiku kau cuma terlihat kalah di dunia, tapi sebenernya kau pemenang sesungguhnya, dan moga-moga adalah pemenang di akhirat kelak karena kau urungkan niatmu untuk membagikan amplopmu!" sahut Kadir dengan penuh semangat.
Karto menanggapinya dengan mesem. Kalimat yang Kadir ucapkan membuatnya lupa bahwa itu keluar dari mulut seorang tukang parkir.
"bener kang, kau adalah pejuang anti money politik. Kau tidak kalah. Kau menang dihati kami wong cilik" Anto melanjutkan.
Tambah mesem Karto dibuatnya. Itulah yang membuat kedua sahabatnya ini selalu ia panggil pertama ketika situasi hati sedang kacau.
"matur suwun teman-teman. Hanya saja aku mbrebes mili jika mengingat semuanya. Warga kita gampang sekali berbelok pilihan dengan lima puluh ribu. Apa pada ra mikir? lima tahun kok geleme dikasih lima ribu, lonthe aja setengah jam dua ratus ribu kok" pisuhnya. "berarti harga mereka lebih murah dibanding lonthe"
"iya kita prihatin dengan masyarakat yang belum dewasa itu" jawab Kadir
"sama, prihatin kang" Anto ikut-ikutan.
"eh kang, aku kemarin juga dapet amplop, seratus ribu malah, dari caleg DPR RI" lanjut Anto.
"dari siapa To?" tanya Karto.
"pak Jasam, Kang"
"lho, itu kan dari partaiku?" Karto kaget.
"iya kang"
"trus kau terima?"
"Iya, hee..." jawab Anto sambil menundukkan kepalanya pertanda malu.
"gundulmu anti money politik Tooo, To!! Sampeyan terima juga tuh uang haram. Trus apa guna bibirku dan kawan-kawanku berbusa mengeluhi keadaan masyarakat yang lebih suka milih uangnya daripada mandang kapasitas dan kontribusi caleg-caleg sing kaya aku? wong ternyata yang mengajari suap menyuap justru dari partaiku sendiri?" teriak Karto tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"bener kang, percumah, percumah.." jawab Anto bak orang tidak berdosa.
"gundulmu! kau juga ikut-ikutan!"
"hee, sory kang"
"Syudaah, syudah kawan kawaaan..." Kadir yang dari tadi diam mencoba menengahi mereka.
"kesuh saya Dir, eh lha sampeyan kemana malem coblosan kemarin kok gak kelihatan?" tanya Karto kepada Kadir.
"anu, Kar,, anuu..."
"anu anu kepribeeen?"
"anuu, aku disuruh mbagi amplop sama mba Diana, alhamdulillah mba Diana kepilih, berkat aku yang kerja keras mbagi amplop malam itu"
"eladalah ediyaan, asy**** tenan!"
0 Komentar