Konon katanya kurikulum di Indonesia itu termasuk yang berat. Banyak beban pelajaran yang harus dikuasai peserta didik mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Saya pernah ikut sharing di sebuah kelas inspirasi. Salah satu teman kami memberikan cerita. Warga negara asli Banjarnegara yang hidup di Australia. Dia pindah ke Australia membawa serta anaknya yang sudah kelas 5 SD. Otomatis disana melanjutkan di kelas yang setara. Tetapi dia sempat terkejut ketika anaknya bercerita "bu, pelajarannya kok mudah ya? seperti pelajaran kelas 2 di Indonesia". 


Apakah berarti anak Indonesia pintar-pintar? belum tentu. Ternyata di Australia anak kelas SD tidak begitu banyak diberi beban pelajaran. Mereka lebih banyak diberi penanaman tentang kedisiplinan, penguatan moral, dan sebagainya. 

Karena penasaran dengan keakuratan cerita teman saya tersebut, saya coba tanya ke mbah google dengan mengetik kata kunci "perbandingan kurikulum SD di Indonesia dan Australia". Keluarlah beberapa informasi.

Dilansir dari idseducation.com bahwa pendidikan dasar di Indonesia dan Australia memang berbeda. Bobot dan tingkat kesulitan materi pelajaran, standar pendidikan dasar di Indonesia ternyata jauh lebih tinggi. Di Australia siswa setaraf kelas 1- 2 belum diwajibkan membaca. Pendidikan dasar di Australia lebih ditekankan sebagai fondasi untuk belajar mengenali diri sendiri, lingkungan serta pengembangan sikap. Hal ini dianggap lebih penting untuk diajarkan dan diterapkan terlebih dahulu kepada siswa sekolah dasar di sana dibandingkan teori di kelas.

Pemberian reward pun cukup menarik. Siswa sekolah dasar di Australia yang berbuat baik dan mempunyai keberanian positif akan diberikan reward berupa sertifikat, yang nantinya jika terkumpul akan diumumkan di acara assembly, yaitu acara dwi mingguan untuk pengembangan bakat dan seni siswa. Jangan salah, pada school award dan rapor ditulis pula pencapaian atau prestasi yang telah dilakukan oleh anak didik. Di sini terlihat bahwa pengembangan karakter dan kecerdasan emosi sangat ditekankan di pendidikan dasar. Maka dari itu, penilaian rapor siswa di Australia berbentuk narasi, bukan angka seperti yang terdapat di sekolah di Indonesia.

Dalam bidang penilaian, Australia berbeda dengan Indonesia yang mewajibkan para siswa menempuh ujian sebagai persyaratan untuk naik kelas. Di sana tidak ada siswa yang tidak naik kelas. Namun terdapat ujian nasional seperti UAN, yang disebut dengan NAPLAN (National Assessment Program Literacy and Numeracy), yaitu tes nasional serentak di Australia untuk kemampuan membaca, menulis, dan menghitung sebagai persiapan memasuki Year 10 atau setara dengan kelas 1 SMU. Walaupun dari standar materi Indonesia lebih unggul, namun ketika memasuki perkuliahan tampak negara kita lebih tertinggal dibanding Australia. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh peralatan teknologi dan fasilitas yang kurang memadai, namun dari segi faktor mahasiswanya pun harus memiliki pengembangan karakter yang kuat, fondasi sikap yang tertanam sejak dini, dan pikiran yang lebih kritis.

Saya membuat prolog diatas bukan diniati untuk mengktitik pendidikan Indonesia walaupun isinya memang kritik yang tersirat. Tetapi tidaklah pantas jika saya harus mengkritik karena saya tidak mempunyai kompetensi di bidang pendidikan. Itu hanya sekelumit prolog yang ditulis oleh orang yang miskin pengetahuan. Itupun dibantu dengan mbah google.

Prolog tersebut sebenarnya saya buat untuk nggarapi teman saya dengan nama inisial Kasum. Dia adalah teman sekolah sewaktu SMA. Anaknya cukup tua, umurnya jauh diatas rata-rata teman se-angkatan kami. Namun begitu dia pintar. Walaupun secara kasat mata dia punya kebiasaan diluar kewajaran anak-anak pintar lainnya. Jika kita melihat anak pintar biasanya mudah dinilai. Penampilan yang rapi, hormat terhadap guru, rajin belajar, banyak berkutat dengan buku. Tetapi Kasum beda, dia kumal, acak-acakan, bergaul dengan kami anak-anak yang tidak jelas, dan juga mata keranjang. Maklum dia sudah tua mungkin libidonya sudah lebih tinggi dari kita semua.

Tetapi harus diakui dia memang pintar. Terbukti ketika dia lulus dia mendapat beasiswa bidikmisi di salah satu Universitas Negeri terkemuka di Semarang. Beasiswa Bidikmisi setahuku diperuntukkan bagi anak-anak yang pandai dan miskin. Jadi kalau Kasum tidak pandai dan miskin mana mungkin dia dapat.

Dia mengambil jurusan Komputer. Lulus tepat pada waktunya. Pasti dia waktu kuliah rajin, karena katanya ada target minimal nilai bagi para peserta bidikmisi yang jika ada yang tidak bisa memenuhi target bisa langsung dikeluarkan. Lebih lagi dia pasti ingin lulus cepat-cepat agar tidak begitu berat menanggung biaya untuk hidup. Dia kan miskin.

Setelah lulus saya menilai dia mulai wagu. Kepintarannya tidak dipakai di tempat yang semestinya. Lebih banyak nganggurnya. Dia kan lulusan komputer dan bidikmisi pula, tetapi gagal bekerja sesuai dengan bidang ilmunya. Dia pernah bekerja di minimart dan pernah pula menjadi perangkat desa bagian keuangan. Apa dia punya ilmu tentang keuangan? Entahlah. 

Kewaguan kedua adalah ilmu IT nya tidak nampak. Bisa dilihat dari blog pribadinya, www.maskasum.online. Masa lulusan IT pake domain .online? selain itu jika kita lihat tampilan blognya, secara estetika sama sekali tidak ada indahnya, dan entah blog itu secara SEO bagus apa tidak. Sekolah mahal-mahal kok blognya kalah dengan anak jurusan akuntansi.

Apakah kisah dari Kasum bisa kita simpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia memang kurang baik? Sehingga menghasilkan sarjana-sarjana yang wagu seperti itu. Saran saja buat adek-adek yang masih sekolah dan akan melanjutkan kuliah, difikirkan dulu dengan matang sebelum menjatuhkan pilhan kuliah jurusan apa. 

Tetapi kini Kasum sudah mulai bernafas lega, karena dia baru saja diterima sebagai CPNS Madrasah Aliyah di Jawa Tengah sebagai guru komputer. Walaupun sampai sekarang SK belum juga turun. Wahai pak Menteri Agama, mohon percepat terbitnya SK CPNS buat guru-guru Aliyah. Saya takut jika terlalu lama Kasum akan kembali mendatangiku ketika susu anaknya telah habis.