Media sosial hari ini beragam rupa dan fungsinya. Tidak seperti jaman dulu ketika masih jaman SMS yang cuma bisa digunakan untuk komunikasi dua arah. Jumlah karakter untuk berkirim pesan pun terbatas. Jadi tidak mungkin untuk mengetik artikel panjang lebar dan dikirim melalui SMS. Jaman dulu-dulunya lagi mungkin hanya bisa berkabar lewat surat. Dulu-dulunya dulu lagi mungkin komunikasi jarak jauh cuma bisa dilakukan lewat batin, heheu.

Sekarang keberagaman media sosial membuat orang bisa mengakses banyak hal. Komunikasi tidak hanya bisa dilakukan antar dua orang. Hampir semua media sosial menyediakan fitur grup yang bisa diisi banyak orang. Jumlah karakter tak terbatas sehingga mau mengetik informasi apapun bisa-bisa saja. 

Selain digunakan sebagai sarana komunikasi, media sosial juga menyediakan fitur story yang bisa digunakan untuk berkabar apapun. Tulisan, foto, video, gambar dan sebagainya.

Sebagai pengguna media sosial saya juga tak luput memanfaatkan fitur story itu. Ada beberapa kemungkinan orang mengunggah storynya. Petama adalah untuk memberikan informasi. Kedua menawarkan produk. Biasa dilakukan oleh pedagang-pedagang online. Walaupun terkadang bagi saya cukup mbebehi ketika ada teman yang menawarkan produk di story. Karena biasanya dia akan posting puluhan foto yang jika kita tidak tertarik untuk membelinya pasti malas untuk membuka. Maklum saya adalah orang yang suka gabut dan kadang untuk mengisi kegabutan sering nyimak-nyimak story orang. Nah kadang menyebalkan ketika sampai pada story-story pedagang-pedagang online itu.

Ketiga, story biasa digunakan untuk pamer kegiatan, pamer jalan-jalan, dan pamer aktifitas tetek bengek. Saya salah satu pelakunya kalau ini. Ketika sedang mengikuti sebuah acara atau sedang dolan di suatu tempat tertentu saya tergerek untuk pamer. Padahal saya tau yang nonton juga tak tertarik-tertarik amat melihat itu.

Keempat, story bisa digunakan untuk mencari perhatian orang. Hanya dengan sekedar mengetik apa yang sedang dirasakan saat itu. Dengan harapan ada yang bersimpati kemudian berkomentar. Saya juga salah satu pelaku dalam hal ini. heheu.

Kelima, story digunakan untuk misuh terhadap suatu hal. Mulai dari hal-hal pribadi, kehidupan bertetangga, jalinan pertemanan, sampai dengan pisuhan terhadap kejadian berskala Nasional.

Saya mandan greget dengan teman-teman yang sering sekali memposting pisuhan-pisuhan terhadap kejadian-kejadian berskala Nasional. Greget bukan berarti menyalahkan ya, karena hak-hak setiap orang untuk berbuat apapun dengan media sosial. Selagi tidak melanggar norma-norma yang berlaku ya sah-sah saja. Saya apresiasi semangatnya. Dia melakukan itu karena merasa bahwa ada nilai-nilai kebenaran yang harus diperjuangkan. Apalagi jika sudah sampai kepada prinsip "kita harus menunjukkan disisi mana kita berpihak" jelas itu sudah tidak bisa didebat.

Yang saya gregetkan adalah keseimbangan antara apa yang dipisuhkan dengan upaya nyata yang dia lakukan untuk mengubah suatu keadaan. Misal, ketika kita sedang berada pada situasi pemilihan pemimpin, entah itu Presiden, Legislatif, Gubernur, Bupati/Walikota dan sebagainya, kita dihadapkan pada pada situasi yang tidak kita sepakati. Money politik misalnya. Karena kita merasa bahwa money politik adalah kecurangan yang tidak bisa ditoleransi, maka kita gunakan media sosial untuk misuh segala hal berkaitan dengan money politik. Mulai dari data-data yang tersaji tentang hal itu, tinjauannya dari segi agama, dampaknya terhadap masyarakat, dan banyak hal lain kita pisuhkan di media sosial. Tujuannya tentu saja untuk menegakkan kebenaran, dan tak lupa juga menunjukkan dipihak mana kita berada. Tetapi masalahnya adalah keseimbangan apa yang sudah kita lakukan di kehidupan nyata? Jangan-jangan kita sudah sangat nyaring berbicara money politik tetapi kita tidak pernah melakukan upaya apapun untuk meminimalisir praktik nakal tersebut bahkan di lingkungan terkecil sekalipun, seperti lingkungan kecamatan, desa/kelurahan tempat kita berada. Bahkan jangan-jangan kita tidak bisa membendung praktek itu di kalangan keluarga. Atau lebih parah kita termasuk dalam pelakunya?

Maka saya teringat dengan sebuah kalimat bijak yang lupa darimana sebenarnya itu sumbernya. Think globaly, act locally. Berfikir secara luas tapi lakukan mulai dari hal-hal kecil yang mungkin dapat kita sentuh. Kalau menurut ustadz Salim A Fillah kita harus mencurigai diri sendiri terlebih dahulu ketika melihat sebuah keadaan. Kembali dengan contoh money politik misalkan. Sebelum menyalahkan banyak hal salahkanlah dulu diri sendiri. Jangan-jangan praktek money politik begitu marak terjadi karena saya yang memulai, saya kadang melakukan, atau saya hanya diam ketika melihat teman saya, keluarga, saudara, teman-teman, dan masyarakat sekitar saya menjadi pelaku praktek nakal tersebut.