Semboyan untuk berhenti belanja di Minimart, belanjalah di warung tetangga mungkin tidak berlaku bagi mas Djarot. Bukan karena dia suka belanja di Minimart, tapi karena dia jarang sekali masuk kesana. Bahkan hanya untuk sekedar ngadem bisa di bilang tidak pernah.
Tapi malam itu nampaknya dia harus masuk kesana. Karena terpaksa. Ketika itu dia sedang melakukan aktifitas rutinnya, mata pencahariannya, servis mesin cuci. Dia adalah teknisi elektronik paling handal se kampung, eh, lintas kampung malah, sehingga banyak mendapat panggilan untuk memperbaiki perabot-perabot elektronik.
Malam itu barangkali bukan peruntungannya. Sedari jam delapan malam dia mencoba memperbaiki mesin cuci namun belum kelar juga sampai hampir jam setengah sepuluh. Agak putus asa dia. Dia putuskan untuk menghisap sebatang rokok dulu untuk meringankan pikiran. Sialnya ternyata bungkus tinggallah bungkus. Tak tersisa sebatang rokokpun malam itu. Karena sudah cukup malam tak ada lagi warung yang buka. Hanya minimart saja yang masih melayani pelanggan. "tak apalah daripada tidak udud" gumamnya.
Melangkahlah dia ke minimart itu. Membawa uang lima belas ribu rupiah. Sebagai orang yang tak pernah menginjakkan kaki ke minimart, kekonyolan demi kekonyolan terjadi. Begitu sampai disana ia melihat salah seorang karyawan sedang ngepel lantai. Tau lah ya, barangkali di semua minimart tidak ada jadwal baku untuk bersih-bersih. Setiap kotor, pel. Kotor lagi pel lagi. Begitu seterusnya.
Masuklah Mas Djarot ke minimart itu. Dia lepaskan sandal yang dia pakai di depan pintu, lalu melenggang santai menuju pelayan. Mas-mas yang sedang mengepel lantai tadi menegur "mas apa sampeyan kemari gak pakai sandal?"
"pakai mas, iku tak lepas di depan pintu" jawabnya.
"lho, dipakai saja mas! iki dudu Masjid" perintah mas-masnya.
"ora mas, aku juga tukang pel, melas sampeyan"
Oalah Djaroot, Djarot. Akhirnya mulailah dia bertransaksi dengan mbak-mbak pelayan. "nyari apa pak?" sapa pelayan ramah.
"panggil mas aja mba, lima meter keluar rumah aku bujang kok" ledeknya.
"oh njih mas, nyari apa?"
"rokok Prumil mba"
Diambilkanlah rokok prumil oleh mbak-mbaknya. Kebetulan rokok prumil tersedia dalam kemasan baru. Berbeda dengan kemasan sebelumnya. Mas Djarot tidak nerima.
"udu sing kue mba, sing putih kaya biasane"
"ini kemasan baru mas, adanya Prumil ini"
"Waduh, isin aku" gerutu mas Djarot dalam hati.
"yaudah itu. Berapa mba"
"tujubelas ribu mas"
"sih lah, deneng mahal ya? nang warung biasanya lima belas ribu lha" protes mas Djarot.
"itu sudah harganya mas"
"ora olih kurang kie mba? waduh nggawa duit pas-pasan ini, limabelas ribu". Mas Djarot bingung dan kepalang isin. Tapi dia ingat di jok motornya ada uang receh. Diambilnyalah dua ribu rupiah kemudian dia bayarkan.
Setelah membayar mbak-mbak pelayan dengan ramah menawarkan "koreknya sekalian mas?"
"maksudnya gimana mba? tujubelas ribu dapet korek sekalian?"
"bukan mas, tujubelas ribu rokoknya, kalau sama korek ya tambah lagi"
"mbahmu lah, wong beli rokok pitulas ewu saja uangnya kurang kok ditawari korek. Mbak e ngledek!" sambat mas Djarot. Akhirnya dia keluar dengan perasaan sebel.
"eladalaaah, GUPLAK!"
0 Komentar