Dulu semasa kecil saya sering
sekali bermain layang-layang. Begitu musim angin tiba anak seusiaku siap dengan
segala perlengkapannya dari layang-layang, senar
(benang), dan tak ketinggalan jengkok,
bangku dari kayu yang biasa digunakan untuk duduk di depan tungku.
Selagi angin masih berhembus,
hampir setiap hari kami bermain. Bangga bukan main karena hampir setiap
layang-layang yang kami terbangkan adalah buatan sendiri. Ada beberapa orang
tua yang mengajari kami untuk membuatnya hingga kami bisa. Paling tidak untuk
layang-layang biasa, berbentuk wajik dengan kreasi warna dan pernak-pernik
masing-masing sesuai dengan kreativitas. Untuk layang-layang besar berbentuk
pesawat, monster, dll kami tak sanggup. Itu pekerjaan orang dewasa.
Disini benang yang kami gunakan
untuk menerbangkan layang-layang sering kita sebut dengan senar. Biasa digunakan
untuk raket bulu tangkis. Ada dua jenis senar, yaitu senar biasa dan senar gelasan. Senar gelasan adalah senar yang sudah dilapisi dengan sepihan kaca yang
ditumbuk sangat halus kemudian dibalurkan ke senar tersebut. Biasanya digunakan
untuk sangkutan, istilah yang kita
pakai untuk menyebut adu layang-layang di udara. Antara dua atau lebih
layang-layang biasanya beradu dan siapa yang putus berarti kalah. Ada kegembiraan
sendiri pada saat ada layang-layang putus, kita berhamburan berlari untuk
mengejar layangan tersebut. Siapa yang dapat, jadilah hak milik. Itu mengapa
jika ingin sangkutan harus punya
senar gelasan setajam mungkin. Tidak jarang
teman-temanku membuat sendiri senar gelasannya karena bisa lebih tajam dari gelasan yang dijual belikan di
toko-toko. Mereka menumbuk halus pecahan kaca kemudian direbusnya kaca yang
halus tersebut bersama senar, air, dan lem. Setelah serbuk menempel kemudian
senar dijemur.
Senar-senar yang kita gunakan
biasanya kita gulung menggunakan kaleng bekas susu kental manis, atau kaleng
bekas cat. Harus digulung dengan erat dan rapi agar tidak kusut. Begitu gulungannya
kendor dan terlepas dari kalengnya, sudah dipastikan benang akan kusut. Atau ketika
sedang menurunkan layang-layang senar tidak langsung digulungkan ke kaleng
tetapi dibiarkan tergeletak di tanah sudah dipastikan kusut pula. Dan ketika
sudah kusut amatlah sukar untuk mengurai. Sering itu terjadi pada kami sehingga
selesai bermain harus telaten untuk mengurai sedikit demi sedikit benang kusut
tersebut. Yang tidak sabar memilih jalan pintas. Dia potong bagian benang yang
kusut kemudian disambungnya benang yang masih rapi. Itu memang lebih mudah,
namun jika selalu mengambil jalan pintas tersebut, dua atau tiga kali benang
yang dimiliki pun menjadi semakin pendek, bahkan bisa habis. Alhasil kita tidak
bisa menerbangkan layang-layang sejauh dulu, atau harus membeli lagi benang
yang baru.
***
Buyung kini sudah berusia dua
puluh lima tahun. Tak lagi dia bermain layang-layang. Bukan karena memang malu
atas usia yang sudah banyak, tetapi di kampungnya memang sudah tidak ada lagi
anak yang bermain layang-layang. Anak-anak sudah tidak tertarik memainkan itu. Hidup
mereka tersandera dengan Gadget, tidak lagi ditemukan permainan tradisional
apapun seperti yang dulu Buyung kecil pernah mainkan. Hanya bersisa satu, main
bola di pelataran Masjid menggunakan bola plastik. Nampaknya permainan itu tak
lekang oleh zaman, walaupun sudah banyak tempat sewa lapangan futsal namun
anak-anak tak akan mampu untuk bermain disana.
Buyung termenung dalam
lamunannya sore itu. Dia mengingat semua pengalaman masa lalunya tentang
layang-layang, terlebih mengenai benang kusut. Hal itu yang paling dia ingat
karena dia merasa dalam hidupnya yang terlihat baik-baik saja ada hal-hal yang
harus diurai. Dia dilanda kebingungan karena tak tahu darimana dan bagaimana ia
akan menyelesaikannya. Ini sangat mirip dengan yang pernah ia rasakan ketika
senarnya dulu kusut setelah bermain layang-layang. Memang susah ketika kita
belum bisa memulainya. Tetapi ketika kita sudah menemukan ujung dari benang
itu, bermodal ketelatenan dan kesabaran semua masalah bisa diurai. Dan ia sudah
berulang kali berhasil melakukannya dulu. Atau jika tak sabar maka tinggal
dipotong saja benangnya, sambung kembali. Cara mana yang akan kau ambil
buyung??
Suara adzan Maghrib
berkumandang, burung-burung yang tinggal sedikit itu kembali pada sarangnya.
Buyung bergegas masuk ke rumah. Ia akan segera memutuskan, setelah imam
mengucapkan salam kedua, pada dzikirnya.
0 Komentar