Kita berada di penghujung 2018. Sebentar lagi memasuki tahun baru 2019. Tahun Politik kita menyebutnya, karena tanggal 17 April 2019 ada gawe besar yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Kita sebagai masyarakat disuruh memilih sesuai hati nurani secara bebas rahasia. Kalau kata Cak Nun kita sebenarnya bukan memilih, tetapi dipilihkan. Dari sekian juta rakyat Indonesia kita sudah disediakan dua pasang Capres dan Cawapres yang nama-nama itu muncul dari transaksi politik partai-partai pengusung, bukan dari rakyat.

Gairahnya sudah terasa dari sekarang, dari beberapa bulan lalu malah, semenjak kedua pasangan tersebut mendaftarkan diri di KPU. Menginjak masa kampanye gairah makin terasa. Ada suatu hal yang ngganjel bagi saya tentang hiruk pikuk pesta demokrasi terbesar ini, yang membuat saya wegah / males, bahkan cenderung antipati menyimak perkembangan gelaran Pilpres. Hal itu adalah fanatisme pendukung calon. Masing-masing punya fanatisme yang luar biasa hebatnya. Muak memandangnya. Bagaimana tidak? Pendukung pasangan A menganggap calonnya adalah malaikat, bahkan Tuhan. Tidak mau dia idolanya itu dikata jelek. Calon yang didukungnya adalah si maha sempurna. Jika ada kabar tidak baik dari calon yang didukungnya keluarlah tanduknya, segala upaya dilakukan untuk membantah kabar tersebut. 

Tidak hanya me-malaikat-kan calon yang didukungnya, calon lawan ia anggap sebagai setan bahkan iblis yang tak pernah benar. Jangankan buruk, baik pun akan dicari-cari keburukannya. Jangankan salah, benarpun akan dicari-cari kesalahannya. Hal itu nampak terjadi di kedua belah pihak. Bagaimana tidak memuakkan? Tontonan seperti ini masif terlihat di mana-mana, media massa, jejaring sosial, dan sebagenya. Bukannya hidup ini lebih baik mencari keburukan diri sendiri dan kebaikan orang lain? lha kok ini malah sebaliknya. Kini semua serba pencitraan, berlomba-lomba melambungkan calon yang diusung dan menjatuhkan calon lawan, dengan berbagai cara.

Ada ungkapan menarik sebenarnya yang bagi saya bisa mendewasakan kita dalam menyikapi Pilpres. Paling tidak kita tidak ikut ke dalam arus yang memuuakkan tersebut. Yang pertama dari Sujiwo Tejo. Dalang edan itu pernah ngetwit "mari berhenti bersandar ke apa pun kecuali ke Tuhan. Termasuk berhenti bersandar ke Jokowi/Prabowo/dll. Jika aku memilih 1 di antara mereka, itu cuma krn aku yakin bhw beliau akan paling menjalankan hukum Tuhan yg berlaku universal. Maka hidupku akan WOLES, bebas dari segala PHP"

Sumber : twitter.com

Menurutku twit tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Dikala sebagian besar orang sibuk memuja-muja calon yang didukungnya seolah mereka itu malaikat bahkan Tuhan, ia memberikan himbauan bahwa tempat bersandar satu-satunya adalah Tuhan. Sebaik-baiknya Jokowi beliau adalah manusia, salah lupute juga ada. Pun sebaliknya, sebaik-baik Prabowo ia juga manusia yang tak sempurna. Terlalu dalam berharap kepada mereka bisa berdampak buruk, kecewa jika harapannya tidak terkabul, atau marah luar biasa jika idolanya itu gagal memenangkan Pilpres. Kalimat itu mengingatkan kita bahwa ada yang lebih kuat dan kuasa dibanding sosok-sosok tersebut. Ialah Tuhan, Allah Swt. Tempat dimana layaknya kita sandarkan seluruh harapan sehingga apapun nanti hasil yang keluar kita akan legowo dan yakin bahwa Dia punya rencana terbaik untuk hambanya. Bebas dari mengharap kepada manusia. Bukankah hal itu esensi dari kalimat tauhid?

Yang kedua, ada kalimat yang juga sangat mendewasakan. Kali ini saya mendengar secara langsung keluar dari mulut Cawapres nomor 2, Sandiaga Uno. Dia mengatakan; Allah sudah menentukan siapa yang akan memimpin Indonesia di tahun 2019. Tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga. Maknanya juga sangat dalam bagiku, kembali pada kepasrahan kepada yang Maha Kuasa, Allah Swt. Tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga. Bagaimanakah usaha sekuat tenaga itu? Usaha-usaha yang dilakukan dengan jujur, cerdas, strategis, tidak dengan cara-cara yang tidak baik, seperti memfitnah, menyebarkan berita hoax, mengadu domba, bertengkar satu sama lain. Akankah Allah akan memberikan hasil yang baik jika usaha-usaha yang kita lakukan adalah usaha-usaha yang tidak baik?

Sumber : doc. pribadi

Untuk itu saya berusaha secinta-cintanya saya terhadap calon yang akan saya pilih jangan sampai melebihi cinta terhadap Allah. Seberharap-berharapnya terhadap calon yang akan dipilih semoga tidak membuat lupa bahwa ada yang lebih pantas kita harapkan. Pengetahuan kita sangat terbatas, kita hanya tahu seper sekian persen siapa orang-orang yang kita pilih itu. Apakah kita sudah mengenal luar dalam mereka sehingga yakin sekali kita membuat penilaian??

Bagimu pendukung Jokowi ingat bahwa dia bukan malaikat, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Allah. Kepadamu pendukung Prabowo, ia juga sama-sama manusia dan Allah yang berkuasa atasnya. Dan ingat pendukung Jokowi dan Prabowo, kita adalah saudara yang tak pantas saling bermusuhan karena fanatisme mendukung orang yang sebenarnya bukanlah tempat kita menyandarkan segala harapan. Mari dukung calon pilihan kita dengan cara-cara yang baik, santun, mengutamakan nilan-nilai kemanusiaan. Daripada sibuk mencari-cari kesalahan lawanmu lebih baik yakinkan saja masyarakat bahwa pilihanmu mempunyai program-program yang memihak kepada rakyat. Jika terlalu banyak tukar fitnah diantara kita yakinkah Allah akan menolong? 

Dan satu hal yang perlu direnungi bahwa ada faktor lain yang bisa membuat negeri ini makmur selain karena  pemimpin. yaitu penduduknya yang beriman dan bertaqwa. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS 7. Al A'raaf : 96). Jika sangat susah bagi kita untuk mengupayakan memilih pemimpin terbaik semoga kita bisa mengupayakan hal ini. Menciptakan masyarakat yang beriman dan bertaqwa, dimulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Jika kita bisa mewujudkannya janji Allah itu pasti, negeri kita akan dilimpahi berkah dari langit dan bumi.

Banjarnegara, 19 Desember 2018